Jodoh Pilihan part 6

Part 6 PERSETUJUAN

Aku baru sadar semenjak aku kuliah aku tidak pernah lagi memutuskan suatu hal di depan Ibu dan Bapak. Terakhir ketika memutuskan mengambil jurusan apa dan di universitas mana aku akan melanjutkan kuliah. Kali terakhir dimana aku, Ibu, dan Bapak benar-benar berbicara serius. Setelah
itu tidak pernah lagi. Aku melakukan segala hal yang aku suka.

Dan ini akan menjadi pertama lagi berbicara serius dengan mereka. Rasanya seperti asing dan kaku.
Tapi bagaimanapun aku tetap harus membicarakan ini dengan mereka. Dan aku harap, hal yang akan kusampaikan yang sudah menjadi keputusanku ini mampu membuat mereka bahagia.

"Bu, Pak. Alysya sudah memutuskan." kataku membuka suara sehabis sarapan.

"Bagaimana keputusan kamu, Sya?" tanya Ibu tidak sabaran.

"Sabar, Buk. Biarkan Alysya berbicara. Dengar nak, apapun keputusan kamu, kami yakin mungkin itu yang terbaik untuk kamu. Kami juga tidak memaksa, tapi keluarga kita dengan keluarga pak Handoko sudah sangat baik. Bu Handoko juga sepertinya sangat menginginkan kamu menjadi menantunya. Namun kembali lagi, keputusan ada di tangan kamu, Sya." kata Ayah yang semakin memantapkanku.

"Iya, Alysya mau pak menikah dengan anak pak Handoko. Bapak juga telah mengenalnya dengan baik, dan baik menurut bapak pasti baik menurut Alysya, Pak. Bismillah. Niat baik pasti diridhoi Allah. Iya kan, Bu?" jawabku dengan tersenyum dan melirik ke Ibu yang langsung sumringah mendengar jawabanku.

"Alhamdulillah," Ibu dan Bapak serentak sambil memelukku.
"Anak kita sudah dewasa ya, Pak?" tanya Ibu dengan senyum lebarnya.

"Iya, Bu. Bapak sampai tidak sadar putri kecil kita sudah sebijak ini." jawab Ayah lagi.

Dan tanpa mereka sadari aku meneteskan air mata diantara pelukan mereka. Ntah air mata bahagia karena senyum mereka, atau menangis sedih karna harus menikah dengan laki-laki yang tidak kucintai.

Padahal menikah hanya sekali, bukan main-main. Sesuatu yang sakral. Tapi aku ikhlas. Yang penting kebahagiaan Ibu dan Bapak. Karena mereka adalah segalanya untukku. Bahagia mereka adalah bahagia terbesarku.

Tiba-tiba bapak bangkit dan mengambil telepon rumah. Ternyata menghubungi pak Handoko dan memberi tahu kabar gembira kalau aku telah bersedia menikah dengan anaknya.

Setelah menutup telepon, bapak menghampiri kami dengan senyum lebarnya dan mengatakan besok keluarga pak Handoko akan datang. Karena kebetulan besok hari minggu jadi mereka bisa langsung datang.

"Secepat itukah?" batinku.

"Huft rasanya aku belum siap. Bagaimana orangnya mas Ardiyan itu. Gantengkah? Jelekkah? Atau gendut dan hitam? Bisa jadi kurus dan putih? Atau kurus dan hitam? Atau jangan-jangan gendut, hitam, pendek, berbulu, hidup lagi??!!!
Ahh memikirkannya membuatku pusing 😑

Aku meminta ijin untuk ke kamar dan aku mengucap istighfar karena mengejek ciptaan Allah. Dan itu artinya aku melihat karena fisik saja. Padahal bagaimanapun orangnya nanti, dia tetap pantas untuk dicintai. Dia berhak mendapat cinta dan kebahagiaan layaknya manusia lainnya. Walaupun aku tidak tahu, bisa mencintainya atau tidak setelah kami menikah nanti. Karena hatiku masih untuk Andra, bukan untuk Ardiyan. Dan pernikahanku dengan Ardiyan pun bukan keinginanku. Jadi aku berhak untuk tidak mencintainya.

.
.
4 Agustus 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Skenario pembelajaran