Jodoh Pilihan Part 5
Part 5 PERTIMBANGAN
Allahu akbar. Allahu akbar. Laa ilaha illallah.
Aku terbangun dari tidurku begitu mendengar kalimat terakhir adzan dari masjid di dekat rumahku.
Dan aku tidak mengerti kenapa yang kuingat pertama kali justru dia, laki-laki yang dijodohkan padaku, yang aku bahkan tidak tahu namanya.
Dan tanpa sadar aku mengucap istighfar, yang aku juga tidak tahu kenapa aku mengucap istighfar. Mungkin karena mengingat dia yang aku belum kenal, atau karena baru bangun sudah memikirkan laki-laki bukan salat. Tapi kan ini permintaanku tadi malam? Ahh entahlah batinku sambil beranjak dari tempat tidur dan bergegas ke kamar mandi.
Aku mengambil wudhu dan menunaikan salat subuh. Tak lupa meminta petunjuk kepada Allah untuk lebih diyakinkan untuk menerima laki-laki yang akan dijodohkan padaku dan melupakan Andra secepatnya.
Setelah mandi dan membereskan kamar aku keluar untuk sarapan dengan Ibu dan Bapak.
Ketika keluar kamar, aku mendengar seorang berbincang-bincang dengan Ibu dan Bapak di ruang tamu. Aku langsung menuju ruang tamu karena penasaran siapa yang pagi-pagi telah berkunjung.
Ibu langsung menyuruhku duduk dan menyapa tante dan om yang aku belum kenal sebelumnya. Tapi aku tetap menyapa dan salim kepada keduanya. Aku hanya merasa senang begitu melihat mereka, rasanya tenang dan nyaman. Sampai aku melupakan sarapan dan ikut nimbrung disana.
Awalnya aku tidak mengerti arah pembicaraan mereka. Namun pada akhirnya aku paham dan tahu bahwa om dan tante tersebut adalah orang tua mas Ardiyan, laki-laki yang ingin dijodohkan denganku.
Aku tiba-tiba membenci mereka. Auto berubah sikap. Tidak ada manis-manisnya. Ekspresiku berubah menjadi ketus. Karena ternyata mereka yang telah menghasut Ibu Bapak untuk menjodohkanku dengan anaknya.
"Anaknya aja mungkin yang udah tua, pengen nikah. Kok malah memberatkanku, menjodohkan disaat aku masih kuliah seperti ini," gerutuku dalam hati.
Tapi melihat senyum tulus mereka, aku jadi luluh juga. Aku kasihan, niat mereka baik tapi kenapa aku membenci mereka. Toh mereka juga tidak memaksa, hanya mencoba menanyakanku untuk anak mereka.
"Astaghfirullah." Aku menyebut istighfar.
Aku ingin mempertimbangkan perjodohan ini. Tapi bagaimanapun, aku tetap belum siap lahir batin. Separuh hatiku masih untuk Andra. Dan mungkin tak kan ada untuk Ardiyan. Mungkin tak akan pernah.
Smg, 3 Agustus 1Allahu akbar. Allahu akbar. Laa ilaha illallah.
Aku terbangun dari tidurku begitu mendengar kalimat terakhir adzan dari masjid di dekat rumahku.
Dan aku tidak mengerti kenapa yang kuingat pertama kali justru dia, laki-laki yang dijodohkan padaku, yang aku bahkan tidak tahu namanya.
Dan tanpa sadar aku mengucap istighfar, yang aku juga tidak tahu kenapa aku mengucap istighfar. Mungkin karena mengingat dia yang aku belum kenal, atau karena baru bangun sudah memikirkan laki-laki bukan salat. Tapi kan ini permintaanku tadi malam? Ahh entahlah batinku sambil beranjak dari tempat tidur dan bergegas ke kamar mandi.
Part 5
Aku mengambil wudhu dan menunaikan salat subuh. Tak lupa meminta petunjuk kepada Allah untuk lebih diyakinkan untuk menerima laki-laki yang akan dijodohkan padaku dan melupakan Andra secepatnya.
Setelah mandi dan membereskan kamar aku keluar untuk sarapan dengan Ibu dan Bapak.
Ketika keluar kamar, aku mendengar seorang berbincang-bincang dengan Ibu dan Bapak di ruang tamu. Aku langsung menuju ruang tamu karena penasaran siapa yang pagi-pagi telah berkunjung.
Ibu langsung menyuruhku duduk dan menyapa tante dan om yang aku belum kenal sebelumnya. Tapi aku tetap menyapa dan salim kepada keduanya. Aku hanya merasa senang begitu melihat mereka, rasanya tenang dan nyaman. Sampai aku melupakan sarapan dan ikut nimbrung disana.
Awalnya aku tidak mengerti arah pembicaraan mereka. Namun pada akhirnya aku paham dan tahu bahwa om dan tante tersebut adalah orang tua mas Ardiyan, laki-laki yang ingin dijodohkan denganku.
Aku tiba-tiba membenci mereka. Auto berubah sikap. Tidak ada manis-manisnya. Ekspresiku berubah menjadi ketus. Karena ternyata mereka yang telah menghasut Ibu Bapak untuk menjodohkanku dengan anaknya.
"Anaknya aja mungkin yang udah tua, pengen nikah. Kok malah memberatkanku, menjodohkan disaat aku masih kuliah seperti ini," gerutuku dalam hati.
Tapi melihat senyum tulus mereka, aku jadi luluh juga. Aku kasihan, niat mereka baik tapi kenapa aku membenci mereka. Toh mereka juga tidak memaksa, hanya mencoba menanyakanku untuk anak mereka.
"Astaghfirullah." Aku menyebut istighfar.
Aku ingin mempertimbangkan perjodohan ini. Tapi bagaimanapun, aku tetap belum siap lahir batin. Separuh hatiku masih untuk Andra. Dan mungkin tak kan ada untuk Ardiyan. Mungkin tak akan pernah.
Smg, 3 Agustus 2019
Allahu akbar. Allahu akbar. Laa ilaha illallah.
Aku terbangun dari tidurku begitu mendengar kalimat terakhir adzan dari masjid di dekat rumahku.
Dan aku tidak mengerti kenapa yang kuingat pertama kali justru dia, laki-laki yang dijodohkan padaku, yang aku bahkan tidak tahu namanya.
Dan tanpa sadar aku mengucap istighfar, yang aku juga tidak tahu kenapa aku mengucap istighfar. Mungkin karena mengingat dia yang aku belum kenal, atau karena baru bangun sudah memikirkan laki-laki bukan salat. Tapi kan ini permintaanku tadi malam? Ahh entahlah batinku sambil beranjak dari tempat tidur dan bergegas ke kamar mandi.
Aku mengambil wudhu dan menunaikan salat subuh. Tak lupa meminta petunjuk kepada Allah untuk lebih diyakinkan untuk menerima laki-laki yang akan dijodohkan padaku dan melupakan Andra secepatnya.
Setelah mandi dan membereskan kamar aku keluar untuk sarapan dengan Ibu dan Bapak.
Ketika keluar kamar, aku mendengar seorang berbincang-bincang dengan Ibu dan Bapak di ruang tamu. Aku langsung menuju ruang tamu karena penasaran siapa yang pagi-pagi telah berkunjung.
Ibu langsung menyuruhku duduk dan menyapa tante dan om yang aku belum kenal sebelumnya. Tapi aku tetap menyapa dan salim kepada keduanya. Aku hanya merasa senang begitu melihat mereka, rasanya tenang dan nyaman. Sampai aku melupakan sarapan dan ikut nimbrung disana.
Awalnya aku tidak mengerti arah pembicaraan mereka. Namun pada akhirnya aku paham dan tahu bahwa om dan tante tersebut adalah orang tua mas Ardiyan, laki-laki yang ingin dijodohkan denganku.
Aku tiba-tiba membenci mereka. Auto berubah sikap. Tidak ada manis-manisnya. Ekspresiku berubah menjadi ketus. Karena ternyata mereka yang telah menghasut Ibu Bapak untuk menjodohkanku dengan anaknya.
"Anaknya aja mungkin yang udah tua, pengen nikah. Kok malah memberatkanku, menjodohkan disaat aku masih kuliah seperti ini," gerutuku dalam hati.
Tapi melihat senyum tulus mereka, aku jadi luluh juga. Aku kasihan, niat mereka baik tapi kenapa aku membenci mereka. Toh mereka juga tidak memaksa, hanya mencoba menanyakanku untuk anak mereka.
"Astaghfirullah." Aku menyebut istighfar.
Aku ingin mempertimbangkan perjodohan ini. Tapi bagaimanapun, aku tetap belum siap lahir batin. Separuh hatiku masih untuk Andra. Dan mungkin tak kan ada untuk Ardiyan. Mungkin tak akan pernah.
Smg, 3 Agustus 1Allahu akbar. Allahu akbar. Laa ilaha illallah.
Aku terbangun dari tidurku begitu mendengar kalimat terakhir adzan dari masjid di dekat rumahku.
Dan aku tidak mengerti kenapa yang kuingat pertama kali justru dia, laki-laki yang dijodohkan padaku, yang aku bahkan tidak tahu namanya.
Dan tanpa sadar aku mengucap istighfar, yang aku juga tidak tahu kenapa aku mengucap istighfar. Mungkin karena mengingat dia yang aku belum kenal, atau karena baru bangun sudah memikirkan laki-laki bukan salat. Tapi kan ini permintaanku tadi malam? Ahh entahlah batinku sambil beranjak dari tempat tidur dan bergegas ke kamar mandi.
Part 5
Aku mengambil wudhu dan menunaikan salat subuh. Tak lupa meminta petunjuk kepada Allah untuk lebih diyakinkan untuk menerima laki-laki yang akan dijodohkan padaku dan melupakan Andra secepatnya.
Setelah mandi dan membereskan kamar aku keluar untuk sarapan dengan Ibu dan Bapak.
Ketika keluar kamar, aku mendengar seorang berbincang-bincang dengan Ibu dan Bapak di ruang tamu. Aku langsung menuju ruang tamu karena penasaran siapa yang pagi-pagi telah berkunjung.
Ibu langsung menyuruhku duduk dan menyapa tante dan om yang aku belum kenal sebelumnya. Tapi aku tetap menyapa dan salim kepada keduanya. Aku hanya merasa senang begitu melihat mereka, rasanya tenang dan nyaman. Sampai aku melupakan sarapan dan ikut nimbrung disana.
Awalnya aku tidak mengerti arah pembicaraan mereka. Namun pada akhirnya aku paham dan tahu bahwa om dan tante tersebut adalah orang tua mas Ardiyan, laki-laki yang ingin dijodohkan denganku.
Aku tiba-tiba membenci mereka. Auto berubah sikap. Tidak ada manis-manisnya. Ekspresiku berubah menjadi ketus. Karena ternyata mereka yang telah menghasut Ibu Bapak untuk menjodohkanku dengan anaknya.
"Anaknya aja mungkin yang udah tua, pengen nikah. Kok malah memberatkanku, menjodohkan disaat aku masih kuliah seperti ini," gerutuku dalam hati.
Tapi melihat senyum tulus mereka, aku jadi luluh juga. Aku kasihan, niat mereka baik tapi kenapa aku membenci mereka. Toh mereka juga tidak memaksa, hanya mencoba menanyakanku untuk anak mereka.
"Astaghfirullah." Aku menyebut istighfar.
Aku ingin mempertimbangkan perjodohan ini. Tapi bagaimanapun, aku tetap belum siap lahir batin. Separuh hatiku masih untuk Andra. Dan mungkin tak kan ada untuk Ardiyan. Mungkin tak akan pernah.
Smg, 3 Agustus 2019
Komentar
Posting Komentar